Kamis, 21 April 2016

Semoga Aku Tidak Tersenyum

Aku tak berharap suatu hari nanti ketika aku membaca tulisan ini lagi aku akan tersenyum dan mengatakan betapa bodohnya diriku saat itu. Jikalau aku demikian, berarti aku telah berubah. Aku tidak menginginkan perubahan itu karena aku telah berada dalam zona nyaman spiritualitasku. Aku ingin seperti ini, bisa membaur secara elastis tanpa ada sekat yang membuat kuterpisah dengan bagian yang lain. Seperti unsur minoritas yang selalu mencari dasar untuk melangkah sehingga selalu mengalami gesekan dengan unsur mayoritas yang berkembang di masyarakat di daerahku, mungkin juga di daerah-daerah yang lain. Kedua unsur ini menganggap diri mereka paling benar, tetapi memang diyakini unsur minoritas ini yang seolah merusak tatanan yang telah mapan dalam unsur moayoritas hingga akhirnya membingungkan orang-orang yang awam dalam unsur mayoritas. Bisa dikatakan sebuah organisasi Islam yang merupakan golongan selain golongan besar Islam di Indonesia. Entah mereka sebenarnya mencari kebenaran, ingin menerapkan jiwa Islam yang berdasar al Quran dan al Hadis atau bagaimana, aku kurang mengetahui. Ini benar-benar meresahkan.

Setiap kali dalam wadah pengajian selalu saja Sang Kyai menyinggung golongan Islam tertentu yang selalu menanyakan, “Apa ada dasarnya?”. Setiap kali ada acara pengajian jikalau tidak diketahui atau tidak ada dasarnya mereka yang selalu mencari-cari dasarnya tidak bersedia untuk mendatanginya. Dalam hal ini misalnya saja memperingati maulid nabi. Apakah mereka yang mengatakan demikian itu tidak dapat menemukan hikmah yang terkandung dalam acara yang luar bisa itu? Apakah mereka juga tidak menyadari kegiatan pengajian itu merupakan sebuah kegiatan dalam majelis mulia, yaitu majelis taklim? Huhf, benar-benar yang demikian membuat resah masyarakat. Semuanya diaanggap seperti hitungan penjumlahan anak TK. Saat guru mengatakan angka delapan berasal dari empat ditambah empat, maka ketika orang lain mengarahkan atau mencari hasil angka delapan dari penjumlahan angka lima ditambah tiga atau angka yang lain, mereka mengatakan tidak benar. Saya kira itu adalah analogi yang tepat untuk kasus ini. Mereka hanya terpaku pada teks hingga mereka tidak mengacuhkan hal-hal lain di luar teks. Di saat golongan yang lain bermaksud mengajak duduk bersama membahas permasalahan ini selalu saja mereka mengelak.

Berbuat baik kepada sesama apakah harus selalu mencari dasarnya terlebih dahulu? Apakah mendoakan seseorang itu tidak ada dasarnya, sementara Nabi Muhammad pernah mengucapkan “amin” saat malaikat Jibril mendoakannya ketika Beliau menaiki mimbar? Makan bersama yang biasa disebut di daerah Surakarta, Jogja, dan sekitarnya dengan istilah kondangan bagi mereka, dilarang dalam agama sementara ikrar dalam kondangan tidak mengultuskan benda-benda atau tempat keramat, atau meminta selain kepada Yang Maha Esa, Allah? Sebenarnya di mana salahnya hingga disebut tidak ada dasarnya? Jikalau semuanya harus didasarkan dengan dasar al Quran dan al Hadis, yang notabene pada zaman dahulu, tentu keadaan tidak pernah akan maju. Misalnya mengadopsi kendaraan yang dipakai nabi kita Muhammad yaitu unta, apakah kita mengendari mobil atau sepeda dikatakan dosa karena tidak mengikuti sunah rasulullah? Budaya dan adat istiadat di tempat kelahiran Nabi Muhammad berbeda dengan di tempat tumpah darah kita. Asalkan itu tidak bertentangan dengan ajaran agama, dengan nalar yang logis tentu dirasa tidak masalah. Budaya-budaya yang kita temui dalam agama kita merupakan akulturasi dengan budaya Hindu yang dipakai pada wali songo untuk memasukkan ajaran Islam. Tentunya para wali yang mengajarkan budaya akulturasi tersebut telah menghilangkan ajaran-ajaran syirik atau berbau menyekutukan Allah dengan sesuatu yang lain. Eh, malah ada yang mengatakan bahwa tidak ada bukti yang jelas tentang keberadaan wali songo,misalnya Sunan Kalijaga. Ah, biarlah jikalau mereka anggap wali Allah itu tidak ada.

Saya kira jika kita sendiri sudah merasa yakin bahwa apa yang kita lakukan itu baik, baik untuk diri sendiri ataupun untuk orang lain, tidak merugikan orang lain dan diri sendiri, tidak menyimpang jalan Allah, tidak perlu mencari dasar dalam al Quran atau al Hadis, hanya malah akan membuat pusing dan akhirnya tidak jadi melaksanakannya karena terlalu sibuk mencari dasarnya. Orang-orang yang mencari dasar atau menanyakan dasar mungkin saja benar-benar tidak tahu atau ilmu yang dimiliki benar-benar masih dalam taraf awam, sehingga dengan mudah akan digoyang oleh ombak yang entah datangnya dari mana.

Jikalau mereka yang selalu mencari dasar untuk beribadah, maka ibadah yang dilakukan hanya terbatas pada ibadah-ibadah yang dapat dikatakan saklek. Itu pun ibadah yang dilakukannya yang sudah diketahui belum tentu diketahui dasarnya, misalnya saja ibadah haji. Apa orang-orang yang selalu saja mencari-cari dasar beribadah tahu dasar kewajiban haji? Belum tentu juga mereka tahu bukan? Mereka secara tidak langsung sebenarnya melakukan suatu ibadah tidak harus mengetahui dasar, tetapi menurut keyakinannya. Jikalau semua ibadah yang ada hubungannya dengan budaya dikatakan tidak ada dasar dalam agama “bidah” maka bisa dijamin lama kelamaan budaya kita akan hilang. Budaya kita yang kondang di luar negeri yaitu budaya sikap gotong royong, kebersamaan, akan lenyap dimakan oleh budaya individualisme. Apakah kita akan memiliki rasa bangga dengan beragam kebudayaan kita sementara budaya itu sedikit demi sedikit digerogoti sikap individual yang membonceng embel-embel agama dan payahnya lagi yang mengerogotinya adalah kita sendiri?

Sebenarnya apa yang terjadi di negeri tercinta kita ini? Apakah ini salah satu dari sekian dampak negara yang menerapkan sistem demokrasi. Orang-orang dibebaskan untuk menyuarakan hatinya dan payahnya mereka tidak menghiraukan menyakiti atau tidak perasaan orang lain, berbenturan dengan orang atau golongan lain atau tidak, akan berdampak terpecah belahnya kesatuan atau tidak. Jikalau memang demikian kita tentu akan segera menunggu perpecahan yang lebih besar lagi. Kita semua sebagai warga negara Indonesia tentunya dengan merasa bangga dengan keberagaman adat dan budaya negeri ini bukan?

Tentang semua ini, rasa cinta terhadap Indonesia, inginku menyanyikan lagi lagu yang hari Senin yang lalu dinyanyikan saat upacara di sekolahku. Sebuah lagu Tanah Airku yang diciptakan oleh Ibu Sud. Entah lagu ini cocok dengan tulisan ini atau tidak, dua keinginan saya, “Tetap Jaga Kebersamaan dan Melestarikan Budaya Kita.”

Tanah airku tidak kulupakan
Kan terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh
Tidak kan hilang dari kalbu
Tanah ku yang kucintai
Engkau kuhargai

Walaupun banyak negri kujalani
Yang masyhur permai dikata orang
Tetapi kampung dan rumahku
Di sanalah kurasa senang
Tanahku tak kulupakan
Engkau kubanggakan

Aku tak ingin melihat diriku atau negaraku pecah atau melupakan identitasnya. Aku tidak ingin esok tersenyum melihat diriku saat membaca tulisan ini. Semua orang harus menjaga diri atas perbedaan yang ada di diri kita atau diri negara kita, karena Indonesia adalah negara yang Bhineka Tunggal Ika.



Tulisan ini bukan bermaksud untuk menyinggung seseorang, golongan atau kelompok tertentu. Jikalau ada yang merasa tersinggung, mohon maaf.

Kab. Semarang, 04 September 2013

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes